Select Page

Dalam beberapa bulan terakhir publik mendiskusikan soal kegiatan keagamaan di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Sebagian besar diskusi terpusat pada soal legalitas (boleh atau tidak secara hukum), tetapi sedikit sekali yang membicarakan soal kepantasan. Para pemimpin baru di Jakarta telah membolehkan Monas dijadikan tempat kegiatan keagamaan, termasuk zikir dan perayaan Natal.

Sebagian telah menggunakan kebijakan baru itu, namun yang lain memutuskan untuk tidak memanfaatkannya untuk alasan-alasan yang berbeda. Tidak semua yang mengaku beragama mau ‘berdoa’ di Monas, karena khawatir hal itu dianggap ‘pamer kesalehan’ kepada Tuhan YME. Bagi mereka, berdoa tidak perlu dipamerkan kepada orang lain, cukup di dalam hati saja sebagai bentuk komunikasi personal kepada Tuhan.

Bagi mereka, kegiatan keagamaan di tempat terbuka yang dihadiri ratusan ribu orang hanyalah unjuk kekuatan dan pamer keberagamaan (bahwa mereka orang-orang yang beragama) yang mungkin malah menghilangkan pahala dari doa itu sendiri. Apakah kalau tujuh juta orang ramai-ramai berdoa di Monas akan lebih dikabulkan oleh Tuhan YME dibandingkan doa di dalam hati?  (Beberapa agama meyakini bahwa berdoa di tempat-tempat tertentu di dunia ini memang diyakini memiliki kemanjuran lebih tinggi) Apakah pameran keberagamaan tersebut mendatangkan lebih banyak pembeli (penganut keyakinan tertentu) seperti layaknya pameran dagang yang terbawa efek ‘keramaian’?

Ada yang tidak menggunakan fasilitas itu karena alasan ekonomis. Berdoa di Monas dianggap lebih mahal karena (1) harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mencapai tempat teresebut, (2) harus menyediakan sound system yang lebih mahal agar suara/doa didengar oleh para peserta, (3) merepotkan aparat negara/anggaran negara untuk pengamanan, dan (4) menyulitkan orang lain karena sebagian jalan barangkali akan ditutup agar tidak mengganggu kekhusukan berdoa.