Select Page

Tiga jalan tol baru dengan total panjang 60 KM di Pulau Sumatra baru saja diresmikan Presiden Jokowi. Mereka adalah bagian dari tiga ruas jalan tol Medan-Binjai, Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi, dan Palembang-Indralaya yang pembangunannya dimulai sejak 2015. Belum semuanya selesai, tentu saja. Mungkin butuh satu-dua tahun ke depan untuk menyelesaikan, termasuk jalan tol Bakeuheni-Terbanggi Besar di Lampung yang panjangnya 140 KM.

Sampai minggu lalu, 51,26% dari jalan tol Lampung itu sudah dibangun. Itu sama dengan 70 KM, lebih panjang dari Jakarta-Cikampek. Jalan tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 131 KM juga baru dikerjakan tahun ini, dan hingga minggu lalu baru terbangun 7,53%. Kecil? Oh ya tentu. Harus diingat, bahwa bahkan jalan tol Bakeuheni-Terbanggi Besar baru dibangun kurang dari 2% pada Maret 2016. Dengan asumsi kecepatan pekerjaan yang sama, barangkali akhir tahun depan setengah dari Pekanbaru-Dumai sudah selesai dibangun.

Anggaplah lima jalan tol tersebut selesai secara keseluruhan pada tahun 2019-2010, maka tambahan jalan tol di pulau terpadat kedua di Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 60 juta jiwa (lebih dari dua kali Malaysia) akan mencapai 375 KM.

Di Sulawesi, jalan tol Manado-Bitung (40 KM), dan di Kalimantan, jalan tol Balikpapan-Samarinda (99 KM) mungkin bisa beroperasi awal tahun 2019. Tentu saja, semua ini tergantung kecepatan pembebasan lahan dan tersedianya pendanaan. Tetapi kalau melihat perkembangan trans-Jawa dan trans-Sumatra dalam dua tahun terakhir, tidak berlebihan bila masyarakat memiliki keyakinan lebih tinggi.

Banyak yang mengatakan Jokowi-Kalla hanya membangun jalan tol. Tentu saja ini tidak beralasan bila kita pernah mengunjungi daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Sumatra. Pulau Sumatra, khususnya Sumatera Selatan, tentu sangat dimanjakan dengan pembangunan LRT, dua jembatan (Musi IV dan Musi IV), yang terkait dengan Asian Games 2018. LRT Palembang bahkan menjadi yang pertama beroperasi di tanah air.

Pengembangan infrastruktur terkait pariwisata Danau Toba, termasuk bandara Silangit, tentu menghidupkan ekonomi daerah seputar danau tersebut. Bupati Samosir, misalnya, kemarin mengatakan bahwa dahulu jumlah kunjungan wisatawan tidak lebih dari 100,000 orang per tahun, tetapi dalam sembilan bulan pertama tahun ini jumlah wisatawan sudah mencapai 278,000 orang.

Coba perhatikan statistik wisatawan dari Biro Pusat Statistik. Jumlah kunjungan wisatawan asing melalui bandara Kualanamu di Medan meningkat 30,23% dalam delapan bulan pertama tahun ini. Yang lebih menjanjikan tentu saja jumlah wisman melalui bandara Sam Ratulangi di Manado yang meroket 121% dalam periode yang sama. Begitu pula Lombok, NTB yang mengalami lonjakan 53,41% dalam Januari-Agustus 2017 saja.

Apakah kesenjangan antara Jawa dan Luar Jawa akan mengecil secara signifikan, tentu waktu yang akan membuktikan. Tetapi kalau kita tidak berbuat sesuatu, tentu tidak ada yang bisa dicapai.

Infrastruktur jalan hanyalah satu dari sekian syarat untuk mengurangi kesenjangan. Bukan rahasia bahwa akses masyarakat di luar Jawa ke listrik dan air minum yang bersih masih terbatas. Karena itu, bagi mereka ketersediaan listrik (termasuk 24 jam per hari) merupakan sebuah kemewahan. Program BBM satu harga juga bukan perkara mudah mengingat kondisi geografis kita. Tidak heran bila pemerintah baru menyelesaikan program itu di 25 lokasi di 11 provinsi dari target 150 lokasi pada tahun 2019.

Tantangannya tentu saja masih sangat besar. Mempersiapkan mental masyarakat untuk menerima wisman, mendapatkan manfaat ekonomi dari ‘pemerataan pembangunan infrastruktur’, dan memastikan dukungan mereka terhadap dampak jangka panjang dari pembangunan haruslah mendapatkan perhatian lebih dalam beberapa tahun ke depan.

Mengingat terbatasnya tangan pemerintah pusat pasca reformasi 1998, menjadi tugas seluruh masyarakatlah untuk memastikan bahwa pemerintah daerah di seluruh Indonesia memang serius dalam mengurangi kesenjangan daerah mereka dengan daerah lain. Percuma saja infrastrukturnya dibangun bila mereka mempersulit investor yang hendak membangun usaha dan menciptakan lapangan kerja. Percuma saja infrastruktur utama seperti jalan tol dibangun bila jalan provinsi dan kabupaten/kota tidak dibangun hanya karena Pemda menghabiskan dana publik untuk kegiatan yang tidak berdampak bagi peningkatan daya saing. Hal ini bisa kita lihat di Medan yang infrastruktur dalam kotanya sangat kacau. Kita juga lihat apa yang terjadi dengan Bandung yang sangat terlambat mengantisipasi dampak jalan tol Jakarta-Bandung atau Bali yang semakin macet dan semrawut karena kurangnya investasi dari Pemda di infrastruktur pendukung.

Andai pemerintah dan masyarakat daerah, termasuk politisi lokal, bersaing menjadikan daerahnya menarik, tentu kita boleh bermimpi seperti mereka yang tinggal di San Francisco yang enggan pindah ke New York, atau mereka yang tinggal di Manchester enggan ke London, yang di Barcelona tidak mau ke Madrid, atau yang di Shanghai tak mau ke Beijing, karena mereka merasa lebih baik di tempat mereka berada. Kota-kota besar ini memiliki keunikan dan keunggulan.

Jadi tantangan sesungguhnya Pak Jokowi itu ada di kampanyenya sendiri yaitu Revolusi Mental. Bagaimana merevolusi mental orang di Makassar supaya menjadikan kotanya lebih hebat dari Surabaya atau Jakarta. Agar Bandung lebih maju dan nyaman dari Jakarta, dst. Merevolusi mental bupati dan walikota agar tidak perlu semuanya berusaha menjadi walikota, eh sorry gubernur Jakarta, untuk meniti karir lebih tinggi di kepemimpinan nasional.

Bila Ibu Risma bisa menjadikan Surabaya lebih hebat dari Jakarta, maka bahkan tidak perlu menjadi gubernur Jawa Timur, keberhasilannya cukup sebagai modal untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden suatu ketika. Mengurus Surabaya tidak kalah beratnya dari menata satu negara Singapura, bedanya mungkin pengalaman politik luar negeri. Mungkin kita perlu memikirkan untuk menghidupkan kembali Bursa Efek Surabaya, jadi bukan hanya satu saja (Bursa Efek Indonesia). Di China, Shenzen, Shanghai, dan Hong Kong adalah tiga bursa saham terpenting di Asia.

Bila Bapak Ridwan Kamil dapat mengubah Bandung dalam 10 tahun, mengingat usia beliau yang masih muda, menjadi sebuah kota yang maju (kalau kata metropolitan kurang relijius) atau yang ‘maju kotanya, bahagia warganya’ seperti jargon kampanye Anies, tentulah beliau tak perlu menjadi gubernur Jawa Barat terlebih dahulu agar bisa menjadi capres atau cawapres. Bila seluruh warga di Jawa Barat menganggapnya sukses, paling tidak 20% suara untuk pilpres sudah ada di tangan. Lagipula hasil pekerjaan walikota lebih mudah dilihat dibandingkan gubernur, kecuali untuk DKI Jakarta…

Tentu nanti ada yang bertanya, darimana duitnya?

Waduh, coba lebih kreatif sedikit. Pajak Bumi Bangunan (PBB) di kota-kota besar kita sangat-sangat murah bila dibandingkan dengan harga tanah dan bangunan di kota besar lain di dunia. Tentu perlu keadilan dalam memungutnya. Saya percaya para pemilik tanah dan bangunan di kota-kota tersebut bersedia membayar PBB yang wajar bila mereka melihat Pemda sungguh-sungguh membelanjakan uang masyarakat untuk memajukan (dan membahagiakan warga) kota—bukan memperkaya oknum Pemda, membiayai plesiran dengan modus studi banding, membeli kamera kelas fotografer profesional untuk seorang camat—-ini pernah disampaikan Pak Ridwan. Toh mereka juga yang akan menikmatinya kelak dengan kenaikan valuasi tanah dan bangunan…

Yang paling sering kita jumpai dalam setiap kampanye adalah program para kandidat untuk berbuat ini dan itu, tetapi tidak pernah atau jarang sekali yang memaparkan secara lengkap bagaimana pembiayaan program-program tersebut dalam jangka panjang. Apa yang akan mereka lakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Akibatnya ketika terpilih terjadi kesenjangan antara harapan pemilih dan kenyataan, karena ketika sebuah program hendak dijalankan, duitnya tidak ada, atau tergantung pada dana dari pemerintah pusat….

Tulisan Berikutnya: Penguasa Pribumi dan Kesenjangan