Select Page

Beberapa lembaga survey, terlepas dari independensi mereka dalam melakukan jajak pendapat umum, telah merilis rekam pendapat masyarakat mengenai tiga tahun pemerintahakan Jokowi-Kalla. Secara keseluruhan, menurut lembaga-lembaga tersebut, masyarakat cukup puas dengan kerja pemerintah (asumsinya pemerintah pusat pimpinan Jokowi-Kalla). Tentu di sana-sini ada keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai siapa yang bekerja dan siapa yang mendapatkan penilaian.

Berbeda dengan era Soeharto dimana pemerintah pusat mengatur semuanya dan bahwa pemerintahan di bawahnya (gubernur, bupati dan wali kota) harus mengikuti, reformasi telah mempreteli banyak kewenangan Presiden dan Wakil Presiden, termasuk dalam hal pengelolaan anggaran. Karena itu, sesungguhnya pendapat masyarakat pun tergantung pemahaman mereka mengenai siapa bertanggungjawab untuk apa dalam struktur pemerintahan. Mengingat survey dilakukan secara acak, maka bukan tidak mungkin respondennya menilai buruk presiden dan wakil presiden hanya karena jalan raya di kotanya rusak.

Demikianpun terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai konsep ekonomi dan pasar. Bahkan di kalangan elit sekalipun ada inkonsistensi antara apa yang mereka pikirkan dan apa yang seharusnya dilakukan.

Tapi, baiklah. Kita pakai saja hasil survey tersebut. Secara keseluruhan, kesenjangan masih menjadi sorotan publik, yang tentu saja menjadi langganan dagangan politik. Sayangnya, soal kesenjangan ini lebih dilihat sebagai produk kekinian, bukan sebuah proses sejarah, resultante dari apa yang kita lakukan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan.

Kesenjangan tentu banyak jenisnya. Kesenjangan antar wilayah, misalnya. Bukan hanya antara Jawa dengan Luar Jawa, tetapi bahkan di Pulau Jawa. Antara Jawa bagian barat dengan tengah dan timur saja sudah dari dulu sangat besar. Ketersediaan infrastruktur seperti listrik, jalan tol, pelabuhan, dan bandara internasional, misalnya, menyebabkan sebagian besar investasi di industri pengolahan, properti, dan jasa terpusat di Jawa bagian barat (Jawa Barat, Banten, dan Jakarta).

Sampai tiga tahun lalu, sebagian besar jalan tol berada di Jawa bagian barat seperti Jagorawi, JORR, Jakarta-Tangerang-Merak, Jakarta-Cengkareng, Jakarta-Cikampek-Bandung-Cileunyi, Jakarta-Cikampek-Palimanan. Ketersediaan infrastruktur menyebabkan sebagian besar kawasan industri berlokasi di daerah yang dilalui jalan-jalan tol tersebut. Akibat berikutnya tentu bisa ditebak, kesenjangan harga tanah (properti, kekayaan) dan pendapatan (upah buruh minimum) dengan bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Peningkatan daya beli menyebabkan permintaan terhadap sepeda motor dan mobil juga terpusat di sana. Berikutnya tentu bisa ditebak. Kemacetan makin parah, tingkat stress dan fatigue makin tinggi.

Tentu saja bukannya pemerintah terdahulu tidak memikirkan cara mengurai berbagai masalah di atas. Pembangunan jalan tol trans-Jawa pun sudah digagas puluhan tahun lalu. Konsesi pembangunan jalan tol bahkan sudah diserahkan ke berbagai perusahaan swasta seperti Bakrie Group, Thiess, Kalla Group dll lebih dari satu dekade lalu. Toh harus diakui baru tiga tahun terakhir inilah berbagai proyek tersebut dihidupkan setelah sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) ‘terpaksa’ membeli dengan mahal beberapa lembar kertas bernama izin/konsesi dari swasta.

Seperti kita ketahui, sebagian sudah mulai beroperasi, tetapi sebagian besar baru akan beroperasi tahun depan. Apakah akan mengurai kesenjangan di Pulau Jawa? Yah, tentu tidak ada yang seketika. Kawasan industri di Bekasi, Cikarang, Cikampek, dan Purwakarta berkembang pesat lima-sepuluh tahun setelah jalan tol Jakarta-Cikampek dibuka. Perkembangan makin pesat sejak tol tersebut disambung hingga Bandung oleh pemerintahan Megawati (diresmikan SBY).

Dampak seketika yang bisa dilihat adalah perbedaan pertumbuhan konsumsi semen di Jawa. Data dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menunjukkan penjualan semen di Jakarta selama sembilan bulan pertama 2017 ini hanya tumbuh 3,1% ke 3,53 juta ton. Di Banten dan Jawa Barat, penjualan semen hanya meningkat 7% dan 9% selama periode yang sama. Sebaliknya penjualan semen di Jawa Tengah meningkat 16,8%, Yogyakarta naik 13,6%, dan Jawa Timur terangkat 14,2%.

Coba perhatikan munculnya sejumlah kawasan industri baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu yang menarik adalah Kawasan Industri Kendal yang dibangun Jababeka dan SembCorp di Kendal. Mengingat pengalaman mereka membangun kawasan industri di daerah dan negara lain, tentu Kendal dipilih karena harapan akan tersambungnya jalan tol trans-Java. Mereka tentu akan menarik para pemodal baru untuk membangun pabrik di sana. Demikian pula dengan kawasan-kawasan baru di Salatiga, Kertosono, Mojokerto, Jombang, Probolinggo, dan Banyuwangi.

Jalan tol, mass-rapid transit, light-rail transit, dan kereta api tentu bukan hanya memudahkan pergerakan barang, tetapi orang. Orang di sini termasuk masyarakat Indonesia yang ingin berwisata dan wisatawan asing. Potensi ekonomi daerah, termasuk kekayaan wisata di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tentu lebih mudah dikembangkan bila infrastruktur diperbaiki. Apakah kesenjangan antara bagian barat Jawa dengan tetangganya di tengah dan timur akan berkurang secara signifikan, tentu waktu yang akan membuktikan.

Demikian halnya kesenjangan antara Jawa dengan Luar Jawa. Gampang dibicarakan, tetapi tidak mudah mengurainya, mengingat kondisi geografis kita sebagai negara kepulauan yang sangat berbeda dengan negara besar lain seperti China, India, dan Amerika Serikat. Menarik membaca hasil survey Litbang Kompas terakhir yang menunjukkan lebih tingginya kepuasan responden di luar Jawa terhadap kinerja Jokowi-Kalla dibandingkan kepuasan mereka yang di Jawa. Apakah ini refleksi dari pendapat masyarakat luar Jawa bahwa mereka dalam beberapa tahun terakhir ini lebih diperhatikan?

Tulisan akan dilanjutkan kemudian…